KhoirunNisa Urrozi Hadist Mengenai Eksistensi Agama Majusi Religious: Jurnal Studi Agama- Agama dan Lintas Budaya 3, 2 (2019): 147-160 149 kan kepada kebudayaan barat oleh seorang teolog bernama Johnn Dannhauer dari Strasbourg, ia memakai pengertian herme-neutika sebagai metode melihat keabsahan
DialektikaHadis Nabi dengan Budaya Lokal Arab. December 2019; DINIKA Academic Journal of Islamic Artikel ini membahas tentang kemunculan istilah “queer” dalam konteksbudaya barat dan non
Namunsecara spesifik kehadiran buku HADIS-HADIS KEBUDAYAAN lebih kepada merangkum sejumlah Hadis-Hadis Nabi yang secara khusus menggambarkan keterlibatan Rasul dalam musik, ketika para sahabat mencoba memainkannya dihadapan Nabi. Menariknya buku ini adalah tentang kumpulan Hadis-Hadis yang menggambarkan Nabi sebagai penikmat sekaligus
5 Membuat orang lain tidak aman dan kebaikkannya tidak pernah diharapkan. Mereka ini selalu menyakiti dan membahayakan orang lain. Serta selalu melakukan kejahatan dan kezaliman seperti melakukan seks bebas jelas menimbulkan penyakit. Apa pun perbuatan baik mereka tidak pernah diharapkan. Itulah lima ciri orang gila menurut hadist Rasulullah SAW.
Dalamriwayat Bukhari no. 6145 (dari Ubay bin Ka’ab), Nabi SAW. menegaskan bahwa, إِنَّ مِنَ الشِّعْرِ حِكْمَةً. Artinya: “Sesungguhnya sebagian dari syair itu adalah hikmah”. Hadis di atas tentu amat bertentangan dengan hadis sebelumnya (HR. Bukhari no.
Site De Rencontre Pour Mariage En Tunisie. Memahami hadis itu susah-susah gampang. Susah jika hadis yang dipahami mengandung banyak dimensi makna. Ini jelas jika tidak jeli, makna akan luput dari pemahaman pembaca. Gampang, jika hadis yang dibaca mengandung unsur-unsur yang mendukung keutuhan makna. Namun tampaknya, kesan susah-susah gampang dalam memahami hadis itu tidak berlaku bagi Kiai Ali Mustafa Yaqub al-maghfur lahu. Beliau punya cara unik dalam memahami hadis. Ada beberapa strategi yang digunakan Kiai Ali dalam memahami hadis-hadis Nabi. Strategi ini memang secara konsisten digunakan beliau ketika mencoba memberikan fatwa atau ketika melihat fenomena keagamaan umat Islam dalam kacamata pertama yang beliau gunakan ialah pahami dulu sistem metafora bahasa yang ada pada kandungan hadis. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak akan dapat lepas dari penggunaan metafora. Ketika musim pemilu tiba, biasanya bahasa-bahasa kampanye menggunakan metafor-metafor ini. Misalnya, ada istilah tikus kampung’ untuk merujuk kepada Jokowi. Lawan politik Jokowi menggunakan istilah ini untuk menyerang dirinya. Ada leksikon Cicak vs Buaya untuk merujuk pada konflik yang terjadi antara KPK dan kehidupan sehari-hari kita saja tidak mungkin lepas dari penggunaan metafor, apalagi agama yang dalam banyak pesan-pesannya selalu menggunakan strategi perumpamaan. Strategi pertama ini dapat digunakan untuk memahami beberapa hadis tertentu. Misalnya, dalam Fath al-Bari, Ibn Hajar mengemukakan sebuah hadis riwayat al-Bukhari. Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah. Para istri bertanya kepada Nabi tentang siapakah yang paling cepat menyusul duluan sepeninggal nabi. Rasul pun menjawab “Yang paling panjang tangannya”. Akhirnya mereka mengukur tangannya masing-masing dan ternyata yang paling panjang tangannya ialah Saudah. Hanya saja ternyata Zainab yang meninggal duluan sementara tanganya paling pendek dari istri-istri nabi lainnya. Zainab ini merupakan istri nabi yang paling banyak memahami hadis tersebut kita tentu harus mengetahui metafora yang digunakan. Di sini ada kaitan antara “Yang paling panjang tangannya” dan “yang paling sering bersedekah”. Metafora panjang tangan’ dalam kebudayaan Arab dikonotasikan sebagai perilaku yang sering memberi orang lain. Karena itu, bagi Kiai Ali, metafora perlu dipahami untuk memahami hadis-hadis yang mengandung banyak kedua, temukan illat dibalik pensyariatan sebuah hukum dalam hadis. Illat di sini bukan dalam pengertian hadis. Karena jika dalam sebuah hadis ada illat-nya, illat-nya tersebut dapat menyebabkan hadis menjadi lemah atau dhaif. Illat yang dimaksud dalam strategi ini termasuk dalam kajian usul fikih. Illat dalam kajian usul fikih terbagi menjadi dua, illat yang ada dalam nas agama dan illat yang dihasilkan dari ijtihad. Ini bisa digunakan untuk membaca makna beberapa hadis. Misalnya, hadis tentang perintah agar umat Islam harus berbeda secara penampilan dari kaum Musyrik. Nabi SAW bersabda “ Bedakanlah diri kalian dari kaum Musyrik. Panjangkan jenggot dan cukurlah kumis kalian.” Perintah panjangkan jenggot dan cukur kumis di sini dilandasi alasan/illat untuk berbeda secara penampilan dari kaum musyrik. Kaum musyrik di zaman nabi tentu berbeda dari kaum musyrik di masa sekarang. Karena itu memahami hadis ini dapat dilakukan dengan melihat illat perintah memanjangkan jenggot dan mencukur kumis itu. Jika di masa Nabi, kaum musyrik memanjangkan kumis dan mencukur jenggot namun di masa sekarang tentu jauh berbeda sesuai dengan kondisi lingkungannya. Misalnya taruhlah kaum musyrik saat ini memanjangkan jenggot dan mencukur kumis, tentu berdasarkan illat untuk berbeda itu, kaum muslim harus memanjangkan kumis dan mencukur ketiga, perhatikan kondisi geografis ketika sebuah hadis dituturkan. Strategi ini penting mengingat ada beberapa hadis yang berkenaan dengan arah ritual agama misalnya kiblat, buang hajat dan lain-lain. Meski letak geografis itu tidak bisa dijadikan sumber peletakan hukum, namun letak geografis juga dapat membantu kita memahami hadis. Misalnya, al-Bukhari dalam Sahih-nya meriwayatkan hadis dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasul SAW bersabda “Jika seseorang di antara kalian ada yang mau buang hajat, janganlah menghadap atau membelakangi kiblat, tapi menghadaplah ke arah timur atau barat.” Dalam hadis ini tidak disebutkan posisi Rasul ketika menyabdakan hukum arah buang hajat ini. Namun dalam riwayat lain, Ibnu Umar menceritakan pengalamannya. Beliau mengatakan “ketika aku menaiki rumah Hafsah untuk beberapa keperluan, aku pernah melihat Rasul SAW sedang buang hajat sambil membelakangi kiblat dan menghadap ke arah Syam.”Hafsah merupakan istri Nabi yang dinikahi setelah hijrah ke Madinah. Jelaslah di sini bahwa posisi Nabi saat itu berada di Madinah. Letak Madinah secara geografis berada di arah utara Mekkah. Karena itu hadis ini tidak boleh diamalkan secara tekstual di Indonesia karena letak geografis Indonesia berada di arah timur. Artinya ketika kita mengamalkan perintah nabi yang mengatakan “menghadaplah ke arah timur atau barat ketika buang hajat” itu artinya kita “menghadap atau membelakangi kiblat”. Tentu ini tidak seperti yang disabdakan Nabi sebelumnya agar kita tidak menghadap kiblat. Artinya jika hadis tersebut diamalkan di Indonesia, maka “menghadaplah ke arah utara atau selatan ketika buang hajat”. Untuk memahami hadis ini, ada dua pendekatan; pertama, pendekatan secara lafal yang berlaku untuk kalimat pertama dari hadis tersebut, “Jangan menghadap kiblat atau membelakanginya”. Kedua, pendekatan secara makna yang berlaku untuk kalimat kedua dari hadis tersebut, “menghadaplah ke arah timur atau barat”. Dua pendekatan ini, kata Kiai Ali, hanya bisa dilakukan bagi orang yang mengetahui letak geografisStrategi keempat, perhatikan kedisinian dan kekinian sebuah hadis. Karena hadis-hadis dituturkan dalam konteks masyarakat Arab, maka tentu kandungannya tidak melulu berkaitan dengan agama yang lepas dari bingkai budaya. Sejatinya, al-Quran dan hadis diwahyukan kepada Nabi tidak terlepas dari konteks yang mengitarinya, tidak turun dalam ruang dan waktu yang kosong dari budaya setempat. Meski kadang prinsip al-hadits arabiyyun lughatan wa alamiyyun ma’nan hadis itu meski secara lafal berbahasa Arab namun secara makna bersifat universal’ bisa dipakai, namun hadis tetaplah hadis, ujaran Nabi yang berbahasa Arab, bahasa yang sepenuhnya mencerminkan kebudayaan Arab. Karena itu menurut Pak Yai, pahami hadis dalam bingkai ruang dan waktunya. Strategi ini digunakan beliau untuk memahami hadis-hadis yang berkenaan dengan kebudayaan Arab seperti pakaian misalnya. Hadis-hadis mengenai pakaian banyak sekali secara tekstual terhadap hadis-hadis pakaian ini akan mengimplikasikan bahwa pakaian Nabi wajib digunakan oleh umat Islam. Bagi Kiai Ali, bukan itu yang dimaksud sunnah Nabi. Mengikuti sunnah berarti ya kita harus memakai pakaian sesuai adat dan istiadat kita karena Nabi sendiri memakai pakaian sesuai tradisi Arab, bukan Persia atau lain-lain. Bahkan Kiai Ali berpandangan lebih ekstrim lagi. Bagi beliau, memakai pakaian yang tidak sesuai adat kebiasaan setempat atau pakaian itu berbeda dari budayanya disebutnya sebagai pakaian syuhrah’. Si pemakainya akan dijerumuskan ke dalam Neraka. Begitu Kiai Ali berpendapat sambil mengutip hadis riwayat Ibnu kelima, perhatikan skala prioritas dalam ibadah. Strategi ini biasanya digunakan Kiai Ali untuk memahami hadis dalam kaitannya dengan ibadah haji atau umrah berulang. Jika ada dua ibadah dimana yang satu dari segi pahala bersifat utama sementara yang lain lebih utama, maka ibadah yang lebih utama ini yang lebih diprioritaskan untuk diamalkan. Jika ada dua ibadah dimana yang satu dampak positifnya untuk pribadi sementara ibadah yang lain dampak positifnya bukan hanya untuk pribadi namun juga untuk lingkungan sosial, maka ibadah yang berdampak social secara positif inilah yang diutamakan. Bahkan pandangan mengenai prioritas ibadah ini begitu mewarnai tulisan-tulisan Kiai Ali. Tulisan-tulisan yang berkaitan dengan hal ini biasanya bernada provokatif seperti Haji Pengabdi Setan dan Kiyai Pemburu keenam, dahulukan intensionalitas syariah di atas tekstualitas hadis. Strategi ini memang tidak terlalu banyak dikupas dalam berbagai karya-karyanya. Kendati demikian, Kiai Ali memandang bahwa tekstualitas hadis tetap penting meski semangat yang melandasi hadis itu yang lebih penting. Contoh hadis yang berkenaan dengan strategi ini ialah perintah Nabi SAW kepada Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Ibrani. Tekstualitas hadis ini mengatakan bahwa mempelajari bahasa Ibrani itu sunnah. Namun berdasar pada pemahaman atas intensionalitas hadis ini, Kiai Ali memandang bahwa belajar bahasa asing itu termasuk sunnah jika semangatnya untuk berdakwah dan kepada strategi pemahaman hadis di atas dapat disimpulkan bahwa Kiai Ali Mustafa Yaqub menggunakan dua pendekatan sekaligus pendekatan tekstual dan pendekatan kontekstual. Masing-masing pendekatan ini dimungkinkan tergantung pada hadis yang akan dipahami. Artinya penggunaan pendekatan ini akan didorong oleh bagaimana sebuah hadis berbicara. Hadis yang berbicara tentang apa dan bagaimana akan menentukan dengan sendirinya model pendekatan yang dipakai. Dalam pepatah dunia penelitian dikatakan al-maudhu yafridl al-manhaj’ objek menentukan metode yang akan digunakan. Kiai Ali dalam hal ini telah berhasil membangun metode yang unik dalam memahami hadis dalam konteks keindonesiaan
Salman Yoga S Judul Buku Hadis-hadis Kebudayaan Penerbit Desantara Tahun Terbit 2004 ISBN 79-96461-5-7 Jumlah Halaman 188 Editor KH. Adib Masruhan Di antara masalah yang paling rumit dalam kehidupan Islam adalah yang berkaitan dengan hiburan dan seni. Karena sudah menjadi sesuatu yang umum kebanyakan manusia terjebak kelalaian dalam hiburan dan seni, yang memang erat hubungannya dengan perasaan, kesenangan, hati serta akal pikiran. Sebuah fenomena menggelisahkan, kini tengah dan bahkan sebenarnya telah cukup lama bergulir di kalangan masyarakat Islam, yakni kegemaran mendengarkan lagu dan musik. Melalui kegemaran itu berbagai budaya lain yang merusak merambati relung-relung kehidupan generasi Islam. Sebagian besar dari mereka menganut budaya moderen yang hingar bingar penuh sensasi dan pertarungan reputasi, masih pula membaur dengan seribu satu jenis dan bentuk kemaksiatan yang terkadang sudah menjadi agama mereka. Seni musik, sastra dan tari dalam Islam sebenarnya telah mempunyai ketentuan tersendiri yang kat’i. Segala bentuk ekspresi dan pelahiran nilai estetika dari setiap orang mempunyai aturan sesuai dengan norma dan tata nilai yang berlaku. Namun sejauh mana hal tersebut menjadi sebuah konsep baku, sampai hari ini Majlis Ulama belum pernah mengeluarkan fatwa tentang ketentuan khusus seperti halnya ketentuan menyangkut halal dan haramnya makanan. Sejak zaman kekuasaan Dinasti Muawiyyah tahun 661-749 M dan kekuasaan Dinasti Abbasiyah tahun 749-1200 M hingga zaman moderen saat ini, pembicaraan tentang Tamaddun seni dan kebudayaan dalam Islam memang tidak pernah selesai mewarnai gerak dinamika kehidupan muslim. Oleh kaum modernisme orientalis seni kerap dijadikan sebagai tameng terhadap penyempitan pemahaman ajaran Islam, sehingga berbagai kajian dan penelitian tentang kesenian Islam Seni Islam terus dilakukan. Dari segi objek penelitian, menurut Sayyed Hossein Nasr1987, seni Islam sebenarnya telah menjadi bahan studi para sarjana Barat sejak abad kesembilan belas dan para sarjana Muslim yang berpendidikan Barat selama beberapa dekade, setelah itu seni Islam menarik perhatian masyarakat luas sejak dua atau tiga dekade yang lalu. Banyak karya mengenai sejarah, teknik penciptaan, lingkungan sosial dan aspek-aspek lainnya dari seni Islam yang diterbitkan dalam berbagai bahasa di Erofa. Beberapa terbitan itu berpegang teguh pada signifikansi dan makna spiritual yang asli, walaupun jumlahnya hanya sedikit sekali. Selain itu tulisan-tulisan T. Burckhardt, yang memberikan penjelasan khusus mengenai demensi intelektual, simbolisme dan demensi-demensi spiritual Islam, sangatlah sedikit karya yang memandang seni Islam sebagai manifestasi bentuk-bentuk realitas spiritual al-haqa’iq wahyu Islam itu sendiri karena diwarnai oleh pengejawantahannya yang bersifat duniawi dan menyalahi hukum Islam. Terlebih ketika goyangan seni tari Inul Daratista, photo ekpresi dan foese Anjasmara serta sejumlah selebriti kita mencuat kepermukaan dan menjadi bahan pembicaraan yang hangat, hingga melahirkan pro dan kontra tentang lahirnya Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Dari sudut pandang para seniman dengan mengatasnamakan kebebasan berekpresi hal tersebut sebenarnya bukanlah satu hal yang perlu diperdebatkan, tetapi dari segi intensitas, media yang digunakan dan mayoritas masyarakat pengguna media terbut adalah umat Islam, maka hal itu dapat menjadi bumerang. Islam sendiri sebenarnya adalah agama yang realistis. Islam memperhatikan tabiat dan kebutuhan manusia, baik jasmani, rohani, akal dan perasaannya, sesuai dengan kebutuhan manusia dalam batasan-batasan yang seimbang. Jika olah raga kebutuhan jasmani, beribadah sebagai kebutuhan rohani, ilmu pengetahuan sebagai kebutuhan akal, maka seni merupakan kebutuhan rasa intuisi, yaitu seni yang dapat meningkatkan derajat dan kemulyaan manusia, bukan seni yang dapat menjerumuskan manusia dalam kehinaan. Bagaimana sebenarnya ekpresi yang islami dan apa dalil-dalil yang mendukung kesenian dan budaya dalam kehidupan muslim? Pertanyaan ini secara sepintas akan terjawab dengan hadirnya buku “HADIS HADIS KEBUDAYAAN” terbitan Desantara Jakarta. Buku yang dieditori oleh Ahmad Tohari dan Bisri Efendi ini berbicara tentang seni dan budaya dalam Islam dengan menghadirkan tidak kurang dari 71 Hadis yang berkaitan langsung dengan seni dan budaya di masa Nabi, khususnya seni tarik suara dan seni musik. Dalam hal berekpresi, Ahmad Tohari pada bagian pengantarnya mengatakan bahwa sesungguhnya umat Islam tidak berbeda dengan umat yang hidup dengan karunia akal budi dan perasaan. Dengan kedua hal tersebut setiap manusia mampu berpikir dan merasakan segala hal yang tertangkap oleh panca indera, serta berkreasi dalam berbagai bentuk ciptaan dan penemuan, baik yang non seni maupun yang bersifat seni. Dengan kata lain umat Islam mempunyai hak dan posisi yang sama dengan umat lain dalam hal seni dan berkesenian. Hal ini sesuai dengan konsep ajaran Islam yang terdapat dalam salah satu ayat Alquran yang memerintahkan manusia untuk memanfaatkan faktor estetika yang telah dikaruniakan kepadanya Surat A-Nahl78. Bahkan Allah Swt sendiri mengakui bagaimana peran sebuah hasil karya seni seperti syair puisi dapat menjadikan sang penyairnya menjadi penghuni neraka atau penghuni surga. Demikian urgen dan pentingnya kedudukan seni serta seniman itu sendiri dalam merubah dan menciptakan sebuah kebudayaan, hingga Allah Swt sendiri mencantumkan nama salah satu surat dalam Al-Quran dengan jenis profesi kesenimanan, yaitu surat Asy-Syu’Ara Para Penyair. Bagaimana berkesenian; berekpresi, bermain musik, bertari dan bernyanyi pada zaman Rasul ? Buku kecil dengan 64 halaman ini menjadi wajib untuk dibaca, karena ia mencoba mengaktualisasikan sejumlah kejadian dan momen-momen di mana Rasul ikut menikmati, melihat dan mendengarkan ketika beberapa sahabat mengekpresikan nilai estetikanya dengan bermain musik. Rasul-pun seolah mebolehkan dan tidak terkesan melarang ketika sejumlah wanita bermain musik, bernyanyi dan menari dalam sebuah acara perkawinan yang dihadiri oleh Rasul sendiri. Buku ini menampilkan kejadian sejarah tentang awal mula dibolehkankannya bermain musik melalui Hadis-Hadis Nabi yang dari segi periwayatannya tergolong shahih. Baik dari segi sanad maupun matannya. Perdebatan tentang seni musik dalam Islam secara khusus memang telah dibicarakan oleh Dr. Ysuf Al-Qardlawy melalui bukunya Figh Al-Ghina wa alMusiqi fi Dhau-I Al-Qur’an wa As-Sunnah Piqih Musik dan Lagu Perspektif Al-Qr’an dan As-Sunnah terbitan Maktabah Wahbah, Kairo 2001, dan buku Tahrim Alatit Tharab Polemik Seputar Hukum Lagu dan Musik tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani terbitan Dar Ash-Shiddiq, Saudi Arabia 1999. Kedua buku tersebut berusaha menjelaskan bagaimana seni musik Islam bermula, berkembang dan digemari serta bagaimana hukum-hukumnya berdasarkan sejumlah dalil ayat Al-Quran dan Sunnah Nabi. Namun secara spesifik kehadiran buku HADIS-HADIS KEBUDAYAAN lebih kepada merangkum sejumlah Hadis-Hadis Nabi yang secara khusus menggambarkan keterlibatan Rasul dalam musik, ketika para sahabat mencoba memainkannya dihadapan Nabi. Menariknya buku ini adalah tentang kumpulan Hadis-Hadis yang menggambarkan Nabi sebagai penikmat sekaligus sebagai apresian dari musik itu sendiri saat itu. Kehadiran buku ini dalam khasanah keilmuan dan refrensi seni dan kebudayaan Islam sangatlah berarti. Selain sebagai bahan rujukan baru tentang kehidupan Rasul, juga dapat menjadi bahan refrensi penting tentang pengkondisian-pencarian eksistensi kesenian dalam Islam. Karena masih banyak masyarakat muslim yang belum mengerti dan faham bagaimana sebenarnya sebuah kebudayaan, khususnya seni diciptakan, diekpresikan dan dinikmati dengan tidak melanggar norma-norma ajaran agama. Buku ini dibagi ke dalam dua bagian utama. Yang pertama menyangkut sekumpulan Hadis tentang kesenian, dan yang kedua sekumpulan Hadis tentang Pluralitas dan toleransi. Buku ini sendiri tampaknya memang sengaja tidak memberi analisa-analisa dan penjelasan lebih jauh dan berarti tentang isi serta relefansi dalil-dalil Hadis dengan realita dunia seni Islam saat ini, sehingga memberi kesan sekaligus tantangan kepada pembaca untuk menginterfestasi, men-tafsir, mengapresiasi sendiri dalil-dalil Hadis tersebut sebagai rambu-rambu sekaligus sebagai bahan rujukan yang signifikan dalam dunia berkebudayaan dan berkesenian . Wallahu’A’lam. Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Analisa Medan Sumatera Utara, pada bulan Maret 2007. Comments comments
hadis nabi tentang kebudayaan